Minggu, 27 Maret 2011

BANJIR

Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa. Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda Indonesia. Berdasarkan nilai kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang cukup berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam berupa curah hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat (pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di daerah dataran banjir dan sebagainya. Berikut ini adalah faktor-faktor yang bisa menyebabkan banjir :

a) Curah hujan tinggi
b) Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.
c) Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keiuar sempit.
d) Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai.
e) Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan di pinggir sungai.
f) Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai. Tindakan Untuk Mengurangi Dampak Banjir
g) Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.
h) Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir.
i) Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.
j) Tidak membuang sampah ke dalam sungai. Mengadakan Program Pengerukan sungai.
k) Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan laut.
Dari faktor-faktor penyebab banjir di atas, kita ambil contoh banjir di Jakarta untuk menganalisa apakah faktor-faktor di atas benar-benar bisa menyebabkan banjir. Bogor banjir, Jakarta tenggelam. Benar! Dua pekan terakhir I.ik.ni.i pun tenggelam karena beberapa wilayah di Bogor banjir. Sejurnlah wilayah di Jakarta tenggelam, khususnya yang berdekatan dengan aliran Kali Ciliwung.
Banjir di Jakarta memang kronis. Tapi, jangan menganggap sesuatu yang kronis itu tidak bisa diobati. Jika penyakit kronis saja bisa diobati, apalagi banjir. Gubernur Pemprov DKI Jakarta Fauzi Bowo yang pada kampanyenya mengusung tagline "Serahkan Jakarta pada Ahlinya" niscaya mampu mengatasi penyakit kronis ini asalkan mau. Mau di sini, Pemda harus serius mengatasinya dari pelbagai aspek, baik fisik, psikis; lokal, maupun regional.
Banjir bandang dahsyat yang melibas kawasan Bogor dan sekitarnya adalah sebuah peringatan yang amat serius betapa rusaknya lingkungan yang ada di wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur), yang akibatnya "menenggelamkan" Jakarta. Fenomena banjir bandang di Bogor ini baru terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Jika Bogor yang secara geografis lebih tinggi dari Jakarta tertimpa banjir bandang, lalu apa yang terjadi dengan Jakarta - kota yang selalu mengeluh dan menderita karena kiriman banjir dari Bogor itu?
Akibat hujan deras yang mengguyur Bopuncur, Bogor pun dilanda banjir bandang. Padahal, jika kawasan Bopuncur normal, mestinya air hujan tersebut dapat diserap hutan-hutan yang ada di wilayah tersebut. Tapi karena hutannya banyak yang gundul dan beralih fungsi menjadi perumahan dan tempat peristirahatan, maka air hujan pun tak dapat ditahan pepohonan hutan dan meluncur bersama lumpur serta bebatuan menjadi banjir bandang. Semua itu menunjukkan satu hal betapa rusaknya lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur.
Sebetulnya, sudah lama diketahui, kawasan hutan di Bopuncur rusak berat. Penyebabnya, orang-orang kaya di Jakarta ramai-ramai membikin rumah kedua dan vila untuk peristirahatan di kawasan tersebut. Letaknya yang dekat dengan Jakarta - tempat 70 persen peredaran uang di Indonesia - menjadikan kawasan sejuk Bopuncur sebagai tempat "rekreasi dan melepas penat" yang favorit bagi the haves di Ibu Kota. Hasilnya, kawasan hutan lindung maupun konservasi di Bopuncur terus menyusut. Tampaknya bukan kebetulan jika Menhut Zulkifli Hasan dalam beberapa hari terakhir mempersoalkan berdirinya vila-vila milik pejabat di Bopuncur. Juga bukan kebetulan, hanya beberapa hari setelah Menhut mempersoalkan berdirinya vila-vila di Bopuncur yang tak berizin dan merusak kawasan hutan itu, banjir bandang terjadi. Artinya, jauh hari Menhut sudah "mencium" hal yang tak beres dalam pendirian vila-vila tersebut.
Kita tahu, sekian banyak menhut sejak zaman Orde Baru sampai sekarang sudah menyatakan perlunya restorasi lingkungan dan hutan di Bopuncur tersebut. Tapi sayang, instruksi Menhut untuk "merestorasi" lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur itu hanya "ditaati" sekadarnya saja. Bahkan sering diabaikan. Banyak "orang besar" yang punya vila dan hotel di kawasan itu merasa lebih berkuasa dibanding menhut - apalagi bupati, camat, dan kepala desa. Akibatnya, kerusakan dan perusakan hutan serta lingkungan di Bopuncur terus meningkat dari tahun ke tahun. Rusaknya lahan tersebut kebanyakan disebabkan oleh penebangan dan alih fungsi secara serampangan, termasuk penggunaan lahan untuk bangunan dan persawahan serta perkebunan.
Dari data yang dicatat di Departemen Kehutanan (2008) disebutkan sampai sejauh ini, terdapat 83.129,66 hektare lahan kritis di daerah Bopuncur. Lahan-lahan yang rusak ini, sebagian di antaranya terdapat di kawasan hutan, hutan lindung, dan daerah aliran sungai (DAS).Di seluruh wilayah Bogor, misalnya, dari jumlah lahan yang rusak, Perum Perhutani mencatat sekitar 3.000 hektare hutan rusak berat Untuk wilayah DAS, jumlah lahan kritisnya hampir separo dari total lahan yang rusak. Lahan di sekitar DAS yang melintasi Kabupaten Bogor sampai pertengahan 2008, misalnya, yang rusak dan kritis mencapai 27 hektare (data dari Balai Penelitian DAS Ciliwung Cisadane).
Saat ini, menurut catatan Dephut, sampai akhir tahun 2008, luas lahan kritis yang terdapat di Bopuncur mencapai 83.129,66 hektare. Sedangkan pemerintah hanya mampu merestorasinya sekitar 10.000 hektare saja tiap tahunnya. Jika saja restorasi lahan kritis itu konsisten dan berjalan secara linier artinya tanpa ada destruksi lahan lagi - waktu yang dibutuhkan untuk restorasi tersebut sekitar delapan tahun.Apa yang terjadi dalam waktu delapan tahun itu? Kerusakan hutan, lingkungan, dan tanah di Bopuncur justru makin luas. Areal lahan kritis pun niscaya akan bertambah. Dengan demikian, kecepatan restorasi itu niscaya tertinggal dibanding dengan kecepatan perluasan lahan kritisnya. Ibaratnya, pelari maraton yang kecepatannya hanya 40 km perjam mengejar kereta api yang kecepatannya 100 km perjam. Sekali lagi dampaknya, kerusakan hutan dan lingkungan pun tiap tahun makin besar.
Fenomena banjir bandang di Bogor yang berlanjut banjir di Jakarta tersebut akan terus terjadi di masa-masa datang dengan skala yang lebih besar lagi. Untuk mengatasinya, pemeritah pusat dan daerah harus segera membuat undang-undang dan perda yang "revolusioner" untuk memperbaiki kawasan hutan dan lingkungan di Bopuncur. Maklumlah, kawasan Bopuncur memunyai nilai yang amat strategis bagi negara karena letaknya yang dekat dengan Jakarta dan kerusakannya yang berdampak langsung pada kekacauan sosial dan ekonomi di kota yang menjadi simbol Indonesia.
Lalu, cukupkah hanya mengatasi krisis lahan di Bopuncur untuk mengatasi banjir di Jakarta? Tidak. Jakarta pun perlu kerja keras untuk mencegah banjir dengan mengatasi problem dirinya, antara lain mengatasi problem sampah dengan merevitalisasi saluran air dan menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan, mengatasi penurunan permukaan tanah dengan membuat sebanyak mungkin sumur resapan, memperluas daerah resapan dan menanam pohon sebanyak mungkin, mengeruk sungai-sungai yang dangkal, membuat waduk di daerah yang sering kena genangan banjir, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar